MAKALAH KEBUDAYAAN Masyarakat
Batak
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ini yang
berjudul “KEBUDAYAAN MASYARAKAT BATAK
Makalah
ini berisikan tentang informasi Masyarakat batak dan kebudayaan di dalamnya.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua apa saja
yang ada pada kebudayaan masyarakat batak sehingga kita bias mengetahui
keunikan yang terkandung di dalam kebudayaannya dan menjadikannya berbeda
dengan kebudayaan – kebudayaan lain yang tersebar di Indonesia .
saya
menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… 1.
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. 2
BAB I ( PENDAHULUAN )
Latar Belakang …………………………………………………………………. 3
Maksud dan Tujuan……………………………………………………………... 4
BAB II ( PEMBAHASAN )
Pengertian masyarakat batak………………………………………………….…. 6
sejarah …………………………………………………………………………… 7
identitas Batak ……………………………………………………………………. 8
Salam khas batak ……………………………………………………………………. 8
Kesenian………………………………………………………………………… 10
BAB III ( PENUTUP )
Kesimpulan……………………………………………………………………… 11
Kritik dan Saran…………………………………………………………………. 12
Daftar Pustaka …………………………………………………………………. 13
Daftar Pustaka …………………………………………………………………. 13
BaB.
1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
LATAR BELAKANG
Budaya merupakan simbol peradaban. Apabila sebuah budaya luntur dan tidak lagi dipedulikan oleh sebuah bangsa, maka peradaban bangsa tersebut tinggal menunggu waktu untuk punah.
Disini, saya mencoba untuk peduli dengan budaya batak.
Dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuan,saya mencoba merangkum berbagai
tulisan yang berkaitan dengan budaya batak dari berbagai sumber.
MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran IPS, juga bertujuan untuk dijadikan bahan presentasi sehingga siswa – siswa lainpun bisa merasakan ilmu yang terdapat dari makalah ini
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia .
Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku
bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi
Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak
Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Islam,
Kristen Protestan, Kristen Katolik. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan
tadisional yakni: tradisi Malim dan juga menganut kepercayaan animisme,
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia
namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di
Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa
orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan
telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu,
yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum). [1] Karena hingga sekarang belum ada
artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat
diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman
logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera
Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di
pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah
satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh
Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir
Sumatera[2]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak
dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan
timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga mandailing Natal [3].
Identitas Batak
Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern
setelah di dirikan dan tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo,
Toba, Simalungun, Pakpak di organisasi yang di namakan Jong Batak tahun 1926,
tanpa membedakan Agama dalam satu kesepahaman : Bahasa Batak kita begitu kaya
akan Puisi, Pepatah dan Pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan
tersendiri, Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi jelas dalam
berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, Aksara sendiri, Seni Bangunan
yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita mempunyai
nenek moyang yang perkasa, Sistem marga yang berlaku bagi semua kelompok
penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara yang bijak, kita berhak
mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan
kita dan melindungi budaya kuno itu [4]
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra
bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren.
Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas
pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung.
Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial
dan politik yang lebih besar.[5] Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya
kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman
kolonial.[6] Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah
"Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak
Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun
Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat
terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai
macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau
Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos
tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai
macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari
wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh
J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat,
yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah
asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan
juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya
nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi
pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan
Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.[7]
Kepercayaan
Sebuah kalender Batak yang terbuat dari tulang, dari abad ke-20. Dimiliki oleh Museum Anak di Indianapolis.
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan,
mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi na Bolon yang
memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam
Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga
konsep, yaitu:
Tondi : adalah
jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi
nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila
tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau
meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang
menawannya.
Sahala : adalah
jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi,
tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau
kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
Begu : adalah
tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku
manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat
dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi,
namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah
tertanam di dalam hati sanubari mereka.[8]
Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing.
Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam
lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas
sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang
menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do
Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi
Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang
dalam pergaulan hidup. Ada
dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak
ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi)
terlihat dari silsilah marga mulai dari Si
Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan
kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar
marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi
kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya
misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya.
Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali
disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak
tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba
yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan
suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga,
karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama
dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh
dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Daerah Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Masyyarakat terdiri atas beberapa suku, seperti melayu, nias, batak toba, batak karo, simalungun, tapanuli tengah, tapanuli selatan (meliputi sipirok, angkola,padang , bolah, dan mandailing). Serta
penduduk pendatang seperti minang, jawa, dan aceh yang bawa budaya serta adat
istiadatnya sendiri.
Daerah Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Masyyarakat terdiri atas beberapa suku, seperti melayu, nias, batak toba, batak karo, simalungun, tapanuli tengah, tapanuli selatan (meliputi sipirok, angkola,
Semua etnis memiliki budaya masing-masing, mulai dari agama,
adat istiadat, upacara adat dari daerah, jenis makanan, dan pakaian adat juga
memilki suatu khas atau ciri dari setiap daerah. Keragaman budaya tersebut
sangat mendukung untuk digunakan sebagai pusat pariwisata maupun cagar budaya
di Sumatra Utara.
Kritik dan Saran
PENUTUP
Demikian
yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis
banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah
di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah
ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada
umumnya.
Daftar pustaka
1. ^ Peter
Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Revised edition,
University of Hawaii Press, Honolulu, 1997
2. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the
3. ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi, Minangkabau 1784 – 1847.
4. ^ Hans Van Miert (2003). Dengan Semangat Berkobar. Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu-KITLV. p. 475. ISBN 9799665736.
5. ^ Liddle, R.W. Ethnicity, party, and national integration: an Indonesian case study.
6. ^ Castles, L. Statelesness and Stateforming Tendencies Among the Batak before Colonial Rule.
7. ^ Tideman, J. Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland.
8 ^ a b Tuuk, H. N. van der, Bataksch Leesbok, Stukken in het Mandailingsch; Stukken in het Dairisch.
No comments:
Post a Comment